Sabtu, 25 November 2017

Perbaikan Cara Tanam Padi dengan System Rice Intensification (SRI)

Jarak tanam (jajar legowo) bagian dari SRI
SRI (Siystem Rice Intensification) dalam beberapa tahun belakangan ini menjadi metode budidaya padi yang cukup fenomenal. Karena ternyata memberikan hasil yang lebih banyak dibanding dengan sistem konvensional selama ini. Isyu yang lebih penting adalah sistim ini lebih ramah lingkungan dengan mengedepankan sistim pertanian organik. SRI mengajarkan untuk memahami padi sebagai tumbuhan rumput-rumputan yang butuh air akan tetapi bukan tanaman air. Sehingga pengaturan air menjadi hal yang sangat penting. Berikut ini tulisan yang diambil dari salah seorang tokoh penggerak SRI dari Madagaskar Dawn Bakelar bisa menjadikan sebagai rujukan untuk memahami metode SRI.


Apakah SRI itu?

            SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional.  SRI dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana.  Tahun 1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh dengan hasil yang positif.
Hasil metode SRI sangat memuaskan (lihat Tabel 1).  Di Madagaskar, pada beberapa tanah tak subur yang produksi normalnya 2 ton/ha, petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha, beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha.  Sedangkan, di daerah lain selama 5 tahun, ratusan petani memanen 8-9 ton/ha.  Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode varietas padi lain yang pernah ditanam.  Petani tidak harus menggunakan input luar untuk memperoleh manfaat SRI.  Metode ini juga bisa diterapkan untuk berbagai varietas yang biasa dipakai petani. Hanya saja, diperlukan pikiran yang terbuka untuk menerima metode baru dan kemauan untuk bereksperimen. Dalam SRI, tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, bukan diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi.  Semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan mereka.
Tabel 1.  Perbandingan Pertumbuhan Padi antara Metode Tradisional dengan Metode SRI. 

Metode Tradisional

Metode SRI

Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
Kisaran
Rumpun/m2
56
42-65
16
10-25
Tanaman/rumpun
3
2-5
1
1
Batang/rumpun
8,6
8-9
55
44-74
Malai/rumpun
7,8
7-8
32
23-49
Bulir/malai
114
101-130
181
166-212
Bulir/rumpun
824
707-992
5,858
3,956-10,388
Hasil panen (t/ha)
2,0
1,0-3,0
7,6
6,5-8,8
Kekuataan akar (kg)
28
25-32
53
43-69

Data dalam metode tradisional dihitung dari 5 pecahan lahan di areal yang berdekatan. Data dalam metode SRI merupakan rata-rata dan kisaran dari 22 plot uji coba (Data diambil dari thesis S2 Joelibarison, 1998).
            Mulanya, praktek penerapan SRI tampak “melawan arus”.  SRI menentang asumsi dan praktek yang selama ratusan bahkan ribuan tahun telah dilakukan.  Kebanyakan petani padi menanam bibit yang telah matang (umur 20-30 hari), dalam bentuk rumpun, secara serentak, dengan penggenangan air di sawah seoptimal mungkin di sepanjang musim. Mengapa? Praktek ini seolah-olah mengurangi resiko kegagalan bibit mati.  Masuk akal bahwa tanaman yang lebih matang seharusnya mampu bertahan lebih baik; penanaman dalam bentuk rumpun akan menjamin beberapa tanaman tetap hidup saat pindah tanam (transplanting); dan penanaman dalam air yang menggenang menjamin kecukupan air dan gulma sulit tumbuh.
            Terlepas dari alasan di atas, para petani yang menerapkan metode SRI belum menemukan resiko yang lebih besar daripada metode tradisional. Empat penemuan kunci penerapan SRI adalah:

1.      Bibit dipindah lapang (transplantasi) lebih awal

Bibit padi ditransplantasi saat dua daun telah muncul pada batang muda, biasanya saat berumur 8-15 hari (Lihat Gambar 1).  Benih harus disemai dalam petakan khusus dengan menjaga tanah tetap lembab dan tidak tergenang air.  Saat transplantasi dari petak semaian, perlu kehati-hatian dan sebaiknya dengan memakai cethok, serta dijaga tetap lembab.  Jangan bibit dibiarkan mengering.  Sekam (sisa benih yang telah berkecambah) biarkan tetap menempel dengan akar tunas, karena memberikan energi yang penting bagi bibit muda. Bibit harus ditranplantasikan secepat mungkin setelah dipindahkan dari persemaian ---sekitar ½ jam, bahkan lebih baik 15 menit.  Saat menanam bibit di lapangan, benamkan benih dalam posisi horisontal agar ujung-ujung akar tidak menghadap ke atas (ini terjadi bila bibit ditanam vertikal ke dalam tanah). Ujung akar membutuhkan keleluasaan untuk tumbuh ke bawah.  Tranplantasi saat bibit masih muda secara hati-hati dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama tahap pertumbuhan vegetatif.  Bulir padi dapat muncul pada malai (misalnya “kuping” bulir terbentuk di atas cabang, yang dihasilkan oleh batang yang subur).  Lebih banyak batang yang muncul dalam satu rumpun, dan dengan metode SRI, lebih banyak bulir padi yang dihasilkan oleh malai.

2.      Bibit ditanam satu-satu daripada secara berumpun

Bibit ditranplantasi satu-satu daripada  secara berumpun, yang terdiri dari dua atau tiga tanaman. Ini dimaksudkan agar tanaman memiliki ruang untuk menyebar dan memperdalam perakaran. Sehingga tanaman tidak bersaing terlalu ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya, atau nutrisi dalam tanah.  Sistem perakaran menjadi sangat berbeda saat tanaman ditanam satu-satu, dan ketika uraian berikut diikuti :

3.      Jarak tanam yang lebar

Dibandingkan dengan baris yang sempit, bibit lebih baik ditanam dalam pola luasan yang cukup lebar dari segala arah.  Biasanya jarak minimalnya adalah 25 cm x 25 cm
Sebaiknya petani berani mencoba berbagai jarak tanam dalam berbagai variasi, karena jarak tanam yang optimum (yang mampu menghasilkan rumpun subur tertinggi per m2) tergantung kepada struktur, nutrisi, suhu, kelembaban dan kondisi tanah yang lain. Pada prinsipnya tanaman harus mendapat ruang cukup untuk tumbuh. Mungkin anda pernah juga menggunakan metode lain selain SRI, namun jarang yang jarak tanam terbaiknya dibawah 20 cm x 20 cm. Hasil panen maksimum diperoleh pada sawah subur dengan jarak tanam 50 x 50 cm, sehingga hanya 4 tanaman per m2.
Untuk membuat jarak tanam yang tepat (untuk memudahkan pendangiran), petani dapat meletakkan tongkat-tongkat dipinggir sawah, lalu diantaranya diikatkan tali melintas sawah. Tali harus diberi tanda interval yang sama, sehingga dapat menanam dalam pola segi empat. Dengan jarak tanam yang lebar ini, memberi kemungkinan lebih besar kepada akar untuk tumbuh leluasa, tanaman juga akan menyerap lebih banyak sinar matahari, udara dan nutrisi. Hasilnya akar dan batang akan tumbuh lebih baik (juga penyerapan nutrisi).  Pola segi empat juga memberi kemudahan untuk pendangiran (lihat no. 6 di bawah).
Jika petani sudah lebih berpengalaman, mereka dapat menghemat waktu dengan hanya menandai titik persilangan tali di petak sawah dengan lidi atau alat lain. Dalam metode SRI kebutuhan benih jauh lebih sedikit dibandingkan metode tradisional, salah satu evaluasi SRI menunjukkan bahwa kebutuhan benih hanya 7 kg/ha, dibanding dengan metode tradisional yang mencapai 107 kg/ha.  Belum lagi hasil panen yang diperoleh berlipat ganda karena setiap tanaman memproduksi lebih banyak padi.

4.      Kondisi tanah tetap lembab tapi tidak tergenang air

Secara tradisional penanaman padi biasanya selalu digenangi air.  Memang benar, bahwa padi mampu bertahan dalam air yang tergenang. Namun, sebenarnya air yang menggenang membuat sawah menjadi hypoxic (kekurangan oksigen) bagi akar dan tidak ideal untuk pertumbuhan.  Akar padi akan mengalami penurunan bila sawah digenangi air, hingga mencapai ¾ total akar saat tanaman mencapai masa berbunga.  Saat itu akar mengalami die back (akar hidup tapi bagian atas mati). Keadaan ini disebut juga “senescence”, yang merupakan proses alami, tapi menunjukkan tanaman sulit bernafas, sehingga menghambat fungsi dan pertumbuhan tanaman.
Dengan SRI, petani hanya memakai kurang dari ½ kebutuhan air pada sistem tradisional yang biasa menggenangi tanaman padi.  Tanah cukup dijaga tetap lembab selama tahap vegetatif, untuk memungkinkan lebih banyak oksigen bagi pertumbuhan akar.  Sesekali (mungkin seminggu sekali) tanah harus dikeringkan sampai retak.  Ini dimaksudkan agar oksigen dari udara mampu masuk kedalam tanah dan mendorong akar untuk “mencari” air.  Sebaliknya, jika sawah terus digenangi, akar akan sulit tumbuh dan menyebar, serta kekurangan oksigen untuk dapat tumbuh dengan subur.
Kondisi tidak tergenang, yang dikombinasi dengan pendangiran mekanis, akan menghasilkan lebih banyak udara masuk kedalam tanah dan akar berkembang lebih besar sehingga dapat menyerap nutrisi lebih banyak. Pada sawah yang tergenang air, di akar padi akan terbentuk kantung udara (aerenchyma) yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen.  Namun, karena kantung udara ini mengambil 30-40% korteks akar, maka dapat berpotensi menghentikan penyaluran nutrisi dari akar keseluruh bagian tanaman.  Penggenangan dapat dilakukan sebelum pendangiran untuk mempermudah pendangiran (lihat no. 5).  Selain itu, penggenangan air paling baik dilakukan pada sore hari (bila pada hari itu tidak hujan), sehingga air yang berada di permukaan mulai mengering keesokan harinya.  Perlakuan ini membuat sawah mampu untuk menyerap udara dan tetap hangat sepanjang hari; sebaliknya sawah yang digenangi air justru akan memantulkan kembali radiasi matahari yang berguna, dan hanya menyerap sedikit panas yang diperlukan dalam pertumbuhan tanaman.  Dengan SRI, kondisi tak tergenangi hanya dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif.  Selanjutnya, setelah pembungaan, sawah digenangi air 1-3 cm seperti yang diterapkan di praktek tradisional.  Petak sawah diairi secara tuntas mulai 25 hari sebelum panen.
Sebagai tambahan untuk 4 prinsip ini, 2 praktek lain sangat penting dalam metode SRI. Keduanya tidak berlawanan dan telah lama dikenal oleh petani dalam bercocok tanam.

5.      Pendangiran

Pendangiran (membersihkan gulma dan rumput) dapat dilakukan dengan tangan atau alat sederhana (lihat gbr 3).  Para petani di Madagaskar beruntung setelah menggunakan alat pendangiran yang dikembangkan International Rice Research Institute sejak tahun 1960-an, yang mampu mengurangi tenaga kerja dan meningkatkan hasil panen.  Alat ini mempunyai roda putar bergerigi yang berfungsi untuk mengaduk tanah saat ditekan ke bawah dan tidak merusak tanaman karena ada jarak diantara roda.  Pendangiran ini membutuhkan banyak tenaga ---bisa mencapai 25 hari kerja untuk 1 ha--- tapi hal ini tidak sia-sia karena hasil panen yang diperoleh sangat tinggi.
Pendangiran pertama dilakukan 10 atau 12 hari setelah tranplantasi, dan pendangiran kedua setelah 14 hari. Minimal disarankan 2-3 kali pendangiran, namun jika ditambah sekali atau dua kali lagi akan mampu meningkatkan hasil hingga satu atau dua ton per ha. Yang lebih penting dari praktek ini bukan sekedar untuk membersihkan gulma, tetapi pengadukan tanah ini dapat memperbaiki struktur dan meningkatkan aerasi tanah.

6.      Asupan Organik

Awalnya SRI dikembangkan dengan menggunakan pupuk kimia untuk meningkatkan hasil panen pada tanah-tanah tandus di Madagaskar.  Tetapi saat subsidi pupuk dicabut pada akhir tahun 1980-an, petani disaarankan untuk menggunakan kompos, dan ternyata hasilnya lebih bagus.  Kompos dapat dibuat dari macam-macam sisa tanaman (seperti jerami, serasah tanaman, dan bahan dari tanaman lainnya), dengan tambahan pupuk kandang bila ada.  Daun pisang bisa menambah unsur potasium, daun-daun taaman kacang-kacangan dapat menambah unsur N, dan tanaman lain seperti Tithonia dan Afromomum angustifolium, memberikan tamabahan unsur P.  Kompos menambah nutrisi tanah secara perlahan-lahan dan dapat memperbaiki struktur tanah.  Di tanah yang miskin jika tidak di pupuk kimia, secara otomatis perlu diberikan masukan nutrisi lain. Pedomannya: dengan hasil panen yang tinggi, sesuatu perlu dikembalikan untuk menyuburkan tanah!


Mengapa SRI berhasil ?        

SRI berhasil karena menerapkan konsep sinergi.  Dalam konteks ini, sinergi menunjukkan bahwa semua praktek dalam SRI berinteraksi secara positif, saling menunjang, sehingga hasil keseluruhan lebih banyak daripada jumlah masing-masing bagian.  Setiap bagian dari SRI bila dilakukan akan memberikan hasil yang positif, tapi SRI hanya akan berhasil kalau semua praktek dilaksanakan secara bersamaan.
Ketika dipakai bersamaan, praktek SRI memberi dampak pada struktur tanaman padi yang berbeda dibandingkan praktek tradisional.  Dalam metode SRI, tanaman padi memiliki lebih banyak batang, perkembangan akar lebih besar, dan lebih banyak bulir pada malai. Untuk menghasilkan batang yang kokoh, diperlukan akar yang dapat berkembang bebas untuk mendukung pertumbuhan batang di atas tanah.  Untuk ini akar membutuhkan kondisi tanah, air, nutrisi, temperatur dan ruang tumbuh yang optimal. Akar juga memerlukan energi hasil fotosintesis yang terjadi di batang dan daun yang ada di atas tanah. Sehingga akar dan batang saling tergantung. Saat kondisi pertumbuhan optimum, ada hubungan positif antara jumlah batang per tanaman, jumlah batang yang menghasilkan (malai), dan jumlah bulir gabah per batang.
Tanaman padi dalam model SRI akan tampak kecil, kurus dan jarang di sawah selama sebulan atau lebih setelah transplantasi.  Dalam bulan pertama, tanaman mulai menumbuhkan batang. Selama bulan ke-2 pertumbuhan batang mulai terlihat nyata. Dalam bulan ke-3, petak sawah tampak “meledak” dengan pertumbuhan batang yang sangat cepat. Untuk memahami hal ini, perlu dimengerti konsep phyllochrons, sebuah konsep yang diaplikasikan pada keluarga rumput-rumputan, termasuk tanaman biji-bijian seperti padi, gandum, dan barley. 
Phyllochron bukan suatu benda, tetapi periode waktu antara munculnya satu phytomer (satu set batang, daun, dan akar yang muncul dari dasar tanaman) dan perkecambahan selanjutnya (lihat Tabel 2).  Ukuran phyllochrons ditentukan terutama oleh temperatur, tapi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti panjang hari, kelembaban, kualitas tanah, kontak dengan air dan cahaya serta ketersediaan nutrisi.
Tabel 2. Pertambahan Jumlah Batang yang Dihasilkan Tanaman Padi dalam Ukuran Phyllochrons

Phyllochrons


I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
Batang baru
1
0
0
1
1
2
3
5
8
12
20
31
Total batang
1
1
1
2
3
5
8
13
21
33
53
84
Keterangan :
Batang pertama dan berikutnya menghasilkan batang baru yang menghasilkan batang baru lagi).  Pada akhir seri, pertumbuhan tanaman meningkat secara eksponensial (berlipat) dan tidak satu-satu.. (Sumber : De Laulanie, 1993)
Bila kondisinya sesuai, phillochrons dalam padi lamanya lima sampai tujuh hari, meski dapat lebih singkat pada temperatur lebih tinggi. Di bawah kondisi yang bagus, fase vegetatif tanaman padi dapat berlangsung selama 12 phyllochrons sebelum tanaman mulai menumbuhkan malai dan masuk ke fase pembungaan (lihat Tabel 2).  Ini mungkin dilakukan ketika pertumbuhan dipercepat, sehingga banyak phillochrons sudah tercapai sebelum inisiasi malai.
Sebaliknya, dalam kondisi miskin, phyllochrons berlangsung lebih lama, dan hanya sedikit yang mampu mencapai fase pembungaan.  Yang perlu diingat : hanya beberapa batang yang tumbuh dalam fase awal phyllochrons (dan tidak ada sama sekali selama phillochrons kedua dan ketiga), namun setelah fase phillochrons  ketiga setiap batang akan menghasilkan batang baru dari pangkalnya (dengan tenggang waktu satu phyllochrons sebelum proses malai) (lihat table 2).  Dalam periode vegetatif berikutnya, dalam kondisi yang ideal, pertambahan batang tanaman menjadi berlipat (eksponensial) dan bukan aditif (sesuai dengan hukum Fibonacci dalam ilmu Biologi).  Dalam praktek budidaya lama, periode produksi batang maksimum tercapai sebelum inisiasi malai, tapi dengan SRI keduanya bisa dicapai bersamaan.
Inilah mengapa, saat paling baik untuk transplantasi bibit adalah selama phyllochrons ke-2 atau ke-3, sehingga tidak ketinggalan fase berlipat (eksponensial) yang mulai pada phyllochrons ke-4.  Akar bibit mengalami trauma saat terkena sinar matahari dan mengering, saat ditanam di tempat yang tidak ada kontak dengan udara; dan saat bulu akar keluar dari akar pertama, akan hilang atau rusak jika terlambat ditranspalantasi.  Trauma ini memperlambat pertumbuhan berikutnya, sehingga banyak phyllochrons yang tidak tercapai sebelum inisiasi malai.  Banyak metode transplantasi (dan waktu) menyebabkan tanaman terhambat tumbuh selama satu atau dua minggu yang juga menghambat pertumbuhan selanjutnya. Untuk pertumbuhan batang maksimum, tanaman perlu menyelesaikan sebanyak mungkin phyllochrons selama fase vegetatif. Bila bibit ditranplantasi pada umur 3 atau 4 minggu, phyllochrons terpenting saat batang tumbuh tidak akan pernah tercapai.
Bertentangan dengan kebiasaan umum yang menganggap bahwa banyak batang akan mengurangi jumlah malai dan pembentukan bulir, dengan SRI, terbukti tidak ada hubungan negatif antara jumlah batang yang diproduksi dan jumlah bulir diproduksi oleh batang subur. Semua komponen hasil panen, tumbuhnya batang, pembentukan malai dan pengisian bulir dapat bertambah di bawah kondisi yang mendukung. 


Semua tampak Ideal untuk direalisasikan. Apakah keterbatasannya?

SRI membutuhkan lebih banyak tenaga kerja per ha daripada metode tradisional.  Bila petani tidak terbiasa mentransplantasi bibit kecil (umur 2 minggu) dalam jarak ruang dan kedalaman tertentu, proses ini bisa membutuhkan waktu dua kali lebih lama.  Tapi jika para petani sudah merasa nyaman dan menguasai tekniknya, transplantasi membutuhkan waktu lebih singkat karena jumlah bibit yang ditanam jauh lebih sedikit. 
Dengan SRI, diperlukan lebih banyak waktu juga untuk mengatur pengairan sawah dibandingkan cara lama.  Ini berarti sistem irigasi perlu diatur secara tepat agar memungkinkan air masuk dan keluar dari sawah secara teratur.  Kebanyakan irigasi tidak diatur seperti ini (kebanyakan irigasi hanya dibuat untuk menyimpan banyak air), sehingga perlu dilakukan perbaikan pada petak dan pengairan lebih dulu sebelum memulai metode SRI.
Pendangiran juga membutuhkan waktu lebih banyak bila sawah tidak digenangi air terus.  Tapi, hasil panen bisa naik beberapa kali lipat jika aerasi tanah diatur baik dengan alat pendangiran putar bergerigi.  Akhirnya, hasil panen yang lebih mampu menutupi pengeluaran tambahan untuk tenaga pendangiran.
Awalnya, SRI membutuhkan 50-100% tenaga kerja (yang terampil dan teliti) lebih banyak, tapi lama kelamaan jumlah ini dapat menurun.  Petani SRI yang sudah berpengalaman membutuhkan tenaga kerja lebih sedikit saat teknik SRI telah dikuasai dan mereka semakin percaya diri.  Dengan hasil panen dua, tiga bahkan empat kali lipat dibanding metode lama, mampu menutupi ongkos buruh dan lahan yang meningkat.
Beberapa petani masih meragukan manfaat SRI.  SRI tampak seperti mukjijat di awal, tetapi ada alasan ilmiah untuk menjelaskan setiap bagian prosesnya.  Para petani ini perlu dimotivasi untuk mencobanya di area kecil dahulu, untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka mengenai manfaat dan untuk memperoleh ketrampilan di skala kecil.
Penanaman dan pendangiran merupakan pekerjaan yang butuh tenaga kerja paling intensif dalam SRI.  Banyak petani kesulitan memperoleh tenaga kerja yang cukup untuk ini, baik dari anggota keluarga sendiri maupun yang disewa.  Jika petani mengalami kendala ini sebaiknya mereka tidak menanam dan mengelola seluruh lahannya dengan pola SRI, tetapi cukup mencoba di sebagian lahannya saja, sehingga tidak harus keluar biaya untuk buruh dan sewa lahan.  Lalu, sisa lahan ditanamai tanaman lain jika telah tersedia tenaga kerja.


Apakah SRI Berkelanjutan ?  Bagaimana Petani dapat Memperoleh Hasil yang Tinggi?

Para ilmuwan masih belum yakin, bahkan banyak yang skeptis, bagaimana mungkin hasil tinggi dapat diperoleh pada tanah miskin seperti Madagaskar. Untungnya SRI telah terbukti juga sukses diterapkan di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka dan Bangladesh.  Jadi jelas bahwa SRI tidak hanya cocok untuk satu neegara.
Memang belum ada evaluasi sistematis oleh ilmuwan mengenai SRI ini. Tetapi telah ada sedikit penjelasan ilmiah terkait penerapan SRI sebagai berikut :
1.      Proses Fiksasi Biologis Nitrogen (Biological Nitrogen Fixation - BNF). Bakteri dan mikroba yang bebas hidup di sekitar akar padi dapat menguraikan nitrogen yang diperlukan untuk tanaman.  Kehadiran bakteri seperti ini telah tercatat untuk tanaman tebu, yang termasuk famili rumput-rumputan, seperti padi.  Ketika tanaman tebu tidak diberi pupuk nitrogen (karena pupuk ini dapat memacu produksi enzim nitrogenase yang diperlukan untuk proses fiksasi nitrogen), mikroba tanah mampu menyediakan 150-200 kg nitrogen per ha untuk tebu.  Namun, proses penguraian nitrogen justru berkurang pada lahan yang diberikan pupuk kimia.  Diketahui bahwa 80 % bakteri di dalam dan sekitar akar padi memiliki kemampuan menyediakan nitrogen, tetapi potensi ini tidak akan menjadi nyata bila penggunaan pupuk nitrogen kimia diteruskan atau dalam kondisi tanah an-aerobik dan tergenang.
2.      Sebuah penelitian menyebutkan bahwa tanaman dapat tumbuh baik dalam konsentrasi hara rendah, selama hara tersebut tersedia berimbang dan konsisten.  Kita tahu bahwa kompos menyediakan hara sedikit demi sedikit tapi konstan.
3.      Tanaman dengan akar yang bebas menyebar dapat menyerap hara apapun di dalam tanah. Pertumbuhan akar yang bebas hanya mungkin terjadi pada akar bibit muda yang punya banyak ruang dan oksigen, bahkan saat air dan nutrisi hanya sedikit tersedia akar dapat mencarinya sendiri. Akar yang demikian dapat mengekstrak unsur hara yang lebih seimbang dari tanah, termasuk nutrisi dari unsur mikro yang diperlukan sedikit tapi penting.
Banyak hal yang perlu dipelajari dari SRI, dan para ilmuwan mulai tertarik karena hasil panennya yang berlipat.  SRI jangan dilihat sebagai teknologi yang diterapkan secara mekanis, tapi sebagai metodologi untuk diuji dan diadaptasi sesuai dengan kondisi para petani.  Para petani perlu menjadi peneliti dan belajar dengan benar untuk memperoleh hasil terbaik dari SRI.
Singkatnya, unsur SRI yang penting adalah sebagai berikut:
1.      Tranplantasi bibit muda untuk mempertahankan potensi pertambahan batang dan pertumbuhan akar yang optimal sebagaimana dibutuhkan oleh tanaman untuk tumbuh dengan baik. 
2.      Menanam padi dalam jarak tanam yang cukup lebar, sehingga mengurangi kompetisi tanaman dalam serumpun maupun antar rumpun.
3.      Mempertahankan tanah agar tetap teraerasi dan lembab, tidak tergenang, sehingga akar dapat bernafas, untuk ini, perlu manajemen air dan pendangiran yang mampu membongkar struktur tanah.
4.      Menyediakan nutrisi yang cukup untuk tanah dan tanaman, sehingga tanah tetap sehat dan subur sehingga dapat menyediakan hara yang cukup dan lingkungan ideal yang diperlukan tanaman untk tumbuh.      
                                  

Informasi lebih lanjut :

ECHO, Inc. 17391 Durrance Rd. North Ft. Myers  FL   33917 USA Phone:  (941) 543-3246
Fax:  (941) 543-5317 email : echo@echonet.org URL : http://www.echonet.org
Norman Uphoff, direktur Cornell International Institute for Food, Agricultural and Development (CIIFAD); PO BOX 14 Kennedy Hall, Cornell University, Ithaca NY 14853 USA. Email : NTU1@cornell.edu
Sebastian Rafaralahy , Presiden Tefy Saina; B.P. 1221, Antananarivo, Madagascar. Email : tefysaina@simicro.mg
(Diambil dari Buletin ECHO Development Notes, January 2001, Issue 70, Halaman 1-6. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar